ads

Lazada Indonesia

Kamis, 04 September 2014

Sebuah kisah dari Pegunungan Tengah Papua

Nyanyian Angin Kurima dan Gemuruh Kali Baliem
Sebuah kisah dari Pegunungan Tengah Papua
Oleh : Muhammad Okto Gunanto, S.Pd.
Angin Kurima berpadu dengan hawa dingin pegunungan Seir membuat tubuh ini malas beranjak dari dalam sleeping bag di  kamar rumah kayu dengan celah-celah yang terbuka membuat rembesan angin ini masuk ke dalam kamar dan tidak mau keluar lagi. Gemuruh suara arus kali baliem yang amat deras dengan warnanya yang coklat, bergulung-gulung, karena batuan-batuan besar menjulang dari dasar kali. Suaranya bagaikan suara hujan deras yang tak pernah kunjung berhenti. Hal ini sangatlah wajar karena rumah kayu kita yang berada 100 meter dari sungai Baliem ini. Di sini berdirilah sekolah bernama SD YPK Polimo, salah satu sekolah tertua di Yahukimo, karena didirikan sejak tahun 1970. Bayangkan bagaimana keadaan pada tahun tersebut, sedangkan di tahun 2014 ini belum ada listrik PLN yang menerangi kampung.

                                                                                                            Kurima, Januari – Juli 2014
Saya tinggal di Kurima bersama dengan enam teman-teman yang luar biasa, kita biasa menyebut diri kita adalah “Laskar Kurima”. Kita sudah seperti keluarga yang hidup saling bahu-membahu mengarungi kerasnya kehidupan di pedalaman Papua. Akan saya perkenalkan satu per satu dari tujuh anggota laskar Kurima, mulai dari usia yang tertua. Pertama dia adalah Hadi Siswanto, usianya sudah 27 tahun, lumayan tua to? Dari wajahnya sudah terlihat, dia berasal dari Blora dan Kuliah di UKSW, Salatiga. Kedua adalah Uki Tri Madani yang biasa dipanggil Mas Uki penampilannya yang kalem dan berkacamata membuatnya terlihat berwibawa, namun logat “ngapagnya” seperti abadi melekat di mulutnya, maklum dari berasal dari Slawi. Ketiga adalah Khusnul Mubarok, guru Bahasa Indonesia berasal dari Brebes, Kuliah di Universitas Panca Sakti Tegal. Sama halnya dengan mas Uki yang tak bisa menyamarkan aksen ngapagnya. Keempat adalah Zaenal Arifin, dia adalah laskar Kurima yang paling gagah, tinggi, namun bersifat agak “girly”. Dia berasal dari Kudus, dan kuliah di Kudus juga yaitu UMK. Kelima adalah Candra Juliansyah, dia adalah sahabat saya mulai dari kuliah. Saya heran kenapa selalu bersama orang ini mulai dari kuliah satu jurusan, satu kelas, satu tempat tugas PPL, satu rumah kontrakan selama 4 tahun, dan sekarang satu rumah dan satu tempat tugas SM3T di pelosok Papua, yaitu di SD YPK Polimo Distrik Kurima, Yahukimo. Keenam adalah saya sendiri, Muhammad Okto Gunanto, sang guru Kelas VI SD YPK Polimo. Terakhir adalah Arif Febriyanto, dia berasal dari kota yang sama dengan saya yaitu Jepara, berasal dari IKIP PGRI Semarang Jurusan Bahasa Inggris, Ciri khas yang dimilikinya adalah memiliki gigi seri yang besar dan memiliki kelebihan mudah bergaul dengan orang-orang yang baru dikenal. Itu saja perkenalannya, sekarang kita berlanjut ke dalam inti cerita. Tolong simak baik-baik!
Mengajar anak-anak di pedalaman Papua itu “mudah”, karena kita tidak butuh menguasai materi yang distandarkan dari kurikulum yang begitu banyak. Kita hanya perlu menguasai sebuah jurus mengajar, yaitu mengajar kelas rendah. Calistung, ya itu lah yang menjadi materi pokok dalam mengajar. Kemampuan dasar yang wajib dimiliki oleh setiap siswa di muka bumi.
Kenapa harus calistung? Kita sebagai kaum pendidik pasti sudah paham jika mengajar anak yang belum memiliki kemampuan itu pada kelas tinggi, apa yang akan terjadi? RPP, Silabus, Instrumen nilai, Materi dan apapun itu pasti akan menjadi sia-sia belaka. Tidak ada yang masuk ke dalam otak, jangankan masuk menempel saja tidak.
Firman dan sony adalah anak-anak asli Kurima yang lahir dan tumbuh besar di sana. Secara akademis mereka sudah masuk di kelas VI sekolah dasar. Namun ketika kita tes, “Hey anak coba kalian tulis nama di buku kalian masing-masing!”,
“Iya pak guru” serentak mereka menjawab. Pensil dan pulpen mereka pun mulai menari di atas lembaran buku mereka, kebanyakan menulis di lembar sampul bagian dalam. Namun apa yang dikerjakan oleh Firman bukanlah sebuah tulisan nama, mereka ternyata sedang meneruskan gambar seorang satgas pemberontak NKRI sedang membawa senjata laras panjang, kalau menurut saya itu  mungkin sejenis SS1. Sedangkan Soni menggambar sebuah pesawat terbang kecil, mungkin sejenis pesawat perintis dengan bendera yang ditancapkan di moncong pesawat itu, tahukah kamu bendera apa itu? Ya itulah bendera berwarna putih berbelang biru dengan variasi warna merah dan ada gambar bintang di antara warna merah itu, Bintang Kejora. Itulah terkadang yang membuat hati kami sebagai pengajar merasa sedih. Anak-anak polos yang dari kecil sudah dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya untuk membenci NKRI. Saya pribadi tidak bisa membayangkan bagaimana jika provinsi ini sampai lepas dari Indonesia. Pernah suatu ketika saya berbincang dengan teman guru tentang organisasi ini. Beliau adalah guru asli Papua, teman satu tempat tugas di SD YPK Polimo, Ibu Nonce namanya. Dia sedikit bercerita mengapa orang-orang Papua terutama Papua bagian pegunungan tengah ingin melepaskan diri dari pangkuan ibu pertiwi.
Sebetulnya orang Papua bagian pantai tidak ingin lepas dari NKRI, mereka tetap ingin bersama dengan Indonesia karena sejarah. Ketika Belanda menjajah Indonesia, masyarakat Papua juga ikut andil dalam melawan penjajah ini. Tokoh-tokoh yang melawan penjajah Belanda antara lain adalah Frans Kaisiepo, Silas Papare, dan Marten Indey. Mereka ini adalah orang Papua daerah pantai. Saya memang tidak begitu paham dengan sejarah mengenai Papua, Oleh karena itu, Ibu Nonce memberikan saya sebuah buku tentang sejarah Papua yang dihubungkan dengan masuknya injil di Papua. Sebab mengapa mayoritas orang papua beragama Kristenadalah karena misionaris banyak datang ke pedalaman Papua untuk menyebarkan agama. Di saat penyebaran ini mereka sudah menemukan gerakan-gerakan pengacau keamanan (GPK)dan sekarang mereka menamakan dirinya adalah OPM, mereka menganggap NKRI adalah penjajah mereka. Orang-orang di pegunungan Papua merasa tidak memiliki perasaan senasip sepenanggungan dengan rakyat Indonesia, mereka hanya berfikir bahwa banyak pendatang menguasai perekonomian di perkotaan, yang memiliki ruko dan toko besar adalah pendatang, yang menjadi pegawai adalah pendatang, yang menguasai pemerintahan adalah pendatang. Inilah pemikiran yang menjadi racun bagi mereka sendiri. Padahal semua itu kembali kepada kebiasaan dan pola pikir masyarakat pribumi itu sendiri. Andaikata mereka mau mencontoh sifat-sifat para pendatang pastilah mereka tidak akan tersingkir atau terusir di tanah mereka sendiri.
Menurut hemat saya, pembelajaran karakter bangsa merupakan model pengajaran yang cocok untuk diterapkan di tanah Papua yang rasa nasionalismenya sudah sangat tipis atau bahkan tidak ada. Saya pernah mencoba menerapkan itu di tempat saya bertugas. Cara yang paling ampuh untuk mengubah pola pikir yang pertamaadalah dengan cara dipaksa. Memang banyak orang mengatakan hal tersebut kurang baik. Namun jika itu tujuannya adalah hal yang sangat baik, mengapa tidak kita lakukan saja?. Cara yang kedua adalah pembiasaan, kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang akan menyebabkan seseorang selalu teringat dan sukar untuk lupa. Oleh karena itu, setiap hari sebelum siswa masuk ke dalam kelas, kita selalu menyuruh mereka berbaris di lapangan, melaksanakan apel pagi ditambah dengan kegiatan baris berbaris termasuk menghormati sang Saka Merah Putih. Di dalam Kelas, saya pun menyuruh siswa mengucapkan Pancasila sebelum di mulai pelajaran. Kemudian di saat sebelum pulang sekolah, anak-anak saya suruh untuk menyanyikan Lagu Indonesia Raya. Untuk kehidupan sehari-hari, saya menyuruh murid saya agar menggunakan Bahasa Indonesia, terutama ketika siswa sedang berada di Sekolah. Itu semua hanya sebagian kecil dari bentuk pendidikan karakter bangsa yang harus kita terapkan kepada anak didik kita, di manapun kita menjalankan tugas sebagai seorang duta pendidikan Indonesia.
Simpulannya, Anak-anak Papua masih merupakan Putra-putri Bangsa Indonesia. Mereka berhak mendapatkan pendidikan dan pelayanan yang sama dengan anak-anak lain dari belahan bumi Indonesia. Anak-anak di Papua tidak mendapatkan hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Sedangkan Sumber Daya Manusia sangat tergantung kepada kualitas pendidikan yang membentuk masyarakat. Itulah sebabnya, mengapa Papua masih sangat terbelakang di tengah kemajuan Indonesia dewasa ini.
Saran kami adalah jangan ajarkan hal yang salah terhadap anak-anak Papua, karena pemikiran mereka masih begitu polos dan gampang terpengaruh. Ajarilah mereka untuk tetap mencintai Indonesia, mencintai pahlawan-pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, dan semangat untuk tetap bersama dengan Indonesia. Untuk pemerintah, jangan hanya membangun perekonomian saja untuk Papua, kembangankanlah sektor pendidikan sehingga kualitas sumber daya manusia di provinsi ini bisa kian meningkat. Sumber daya alam di Papua sangatlah kaya, namun pihak asing yang selalu menguasai, apabila sumber daya manusia Papua sudah mumpuni, tentulah masyarakat Papua sendiri khusunya dan rakyat Indonesia pada umumnya yang akan menikmati hasil bumi “Tanah Cenderawasih”.
Kurima - Yahukimo - Papua

Kurima - Yahukimo - Papua

Kurima - Yahukimo - Papua  
“Selama Darah mu berwarna merah, dan Tulangmu berwarna Putih, Kalian tetap Anak-anak Indonesia wahai murid-muridku”.

Salam Indonesia Tetap Bersatu,
dari Ujung Timur Indonesia.

1 komentar:

  1. Sekolah ini, di bangun oleh bapak saya (C.Dimara) pada tanggal 5 Mei 1970 s/d saat ini 5 mei 2020 genap 50 Tahun, atau setengah abad sudah usia sekolah itu

    BalasHapus