Nyanyian Angin Kurima
dan Gemuruh Kali Baliem
Sebuah kisah dari Pegunungan
Tengah Papua
Oleh : Muhammad Okto
Gunanto, S.Pd.
Angin Kurima berpadu dengan hawa dingin pegunungan
Seir membuat tubuh ini malas beranjak dari dalam sleeping bag di kamar rumah kayu dengan celah-celah yang
terbuka membuat rembesan angin ini masuk ke dalam kamar dan tidak mau keluar
lagi. Gemuruh suara arus kali baliem yang amat deras dengan warnanya yang
coklat, bergulung-gulung, karena batuan-batuan besar menjulang dari dasar kali.
Suaranya bagaikan suara hujan deras yang tak pernah kunjung berhenti. Hal ini
sangatlah wajar karena rumah kayu kita yang berada 100 meter dari sungai Baliem
ini. Di sini berdirilah sekolah bernama SD YPK Polimo, salah satu sekolah
tertua di Yahukimo, karena didirikan sejak tahun 1970. Bayangkan bagaimana
keadaan pada tahun tersebut, sedangkan di tahun 2014 ini belum ada listrik PLN
yang menerangi kampung.
Kurima,
Januari – Juli 2014
Saya
tinggal di Kurima bersama dengan enam teman-teman yang luar biasa, kita biasa
menyebut diri kita adalah “Laskar Kurima”. Kita sudah seperti keluarga yang
hidup saling bahu-membahu mengarungi kerasnya kehidupan di pedalaman Papua.
Akan saya perkenalkan satu per satu dari tujuh anggota laskar Kurima, mulai
dari usia yang tertua. Pertama dia adalah Hadi Siswanto, usianya sudah 27
tahun, lumayan tua to? Dari wajahnya sudah terlihat, dia berasal dari Blora dan
Kuliah di UKSW, Salatiga. Kedua adalah Uki Tri Madani yang biasa dipanggil Mas
Uki penampilannya yang kalem dan berkacamata membuatnya terlihat berwibawa,
namun logat “ngapagnya” seperti abadi melekat di mulutnya, maklum dari berasal
dari Slawi. Ketiga adalah Khusnul Mubarok, guru Bahasa Indonesia berasal dari
Brebes, Kuliah di Universitas Panca Sakti Tegal. Sama halnya dengan mas Uki
yang tak bisa menyamarkan aksen ngapagnya. Keempat adalah Zaenal Arifin, dia
adalah laskar Kurima yang paling gagah, tinggi, namun bersifat agak “girly”.
Dia berasal dari Kudus, dan kuliah di Kudus juga yaitu UMK. Kelima adalah
Candra Juliansyah, dia adalah sahabat saya mulai dari kuliah. Saya heran kenapa
selalu bersama orang ini mulai dari kuliah satu jurusan, satu kelas, satu
tempat tugas PPL, satu rumah kontrakan selama 4 tahun, dan sekarang satu rumah dan
satu tempat tugas SM3T di pelosok Papua, yaitu di SD YPK Polimo Distrik Kurima,
Yahukimo. Keenam adalah saya sendiri, Muhammad Okto Gunanto, sang guru Kelas VI
SD YPK Polimo. Terakhir adalah Arif Febriyanto, dia berasal dari kota yang sama
dengan saya yaitu Jepara, berasal dari IKIP PGRI Semarang Jurusan Bahasa
Inggris, Ciri khas yang dimilikinya adalah memiliki gigi seri yang besar dan
memiliki kelebihan mudah bergaul dengan orang-orang yang baru dikenal. Itu saja
perkenalannya, sekarang kita berlanjut ke dalam inti cerita. Tolong simak
baik-baik!
Mengajar anak-anak di pedalaman Papua itu “mudah”,
karena kita tidak butuh menguasai materi yang distandarkan dari kurikulum yang
begitu banyak. Kita hanya perlu menguasai sebuah jurus mengajar, yaitu mengajar
kelas rendah. Calistung, ya itu lah yang menjadi materi pokok dalam mengajar.
Kemampuan dasar yang wajib dimiliki oleh setiap siswa di muka bumi.
Kenapa harus calistung? Kita sebagai kaum pendidik
pasti sudah paham jika mengajar anak yang belum memiliki kemampuan itu pada
kelas tinggi, apa yang akan terjadi? RPP, Silabus, Instrumen nilai, Materi dan
apapun itu pasti akan menjadi sia-sia belaka. Tidak ada yang masuk ke dalam
otak, jangankan masuk menempel saja tidak.
Firman dan sony adalah anak-anak asli Kurima yang
lahir dan tumbuh besar di sana. Secara akademis mereka sudah masuk di kelas VI
sekolah dasar. Namun ketika kita tes, “Hey anak coba kalian tulis nama di buku
kalian masing-masing!”,
“Iya pak guru” serentak mereka menjawab. Pensil dan
pulpen mereka pun mulai menari di atas lembaran buku mereka, kebanyakan menulis
di lembar sampul bagian dalam. Namun apa yang dikerjakan oleh Firman bukanlah
sebuah tulisan nama, mereka ternyata sedang meneruskan gambar seorang satgas
pemberontak NKRI sedang membawa senjata laras panjang, kalau menurut saya itu mungkin sejenis SS1. Sedangkan Soni menggambar
sebuah pesawat terbang kecil, mungkin sejenis pesawat perintis dengan bendera
yang ditancapkan di moncong pesawat itu, tahukah kamu bendera apa itu? Ya
itulah bendera berwarna putih berbelang biru dengan variasi warna merah dan ada
gambar bintang di antara warna merah itu, Bintang Kejora. Itulah terkadang yang
membuat hati kami sebagai pengajar merasa sedih. Anak-anak polos yang dari
kecil sudah dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya untuk membenci NKRI. Saya
pribadi tidak bisa membayangkan bagaimana jika provinsi ini sampai lepas dari
Indonesia. Pernah suatu ketika saya berbincang dengan teman guru tentang
organisasi ini. Beliau adalah guru asli Papua, teman satu tempat tugas di SD
YPK Polimo, Ibu Nonce namanya. Dia sedikit bercerita mengapa orang-orang Papua
terutama Papua bagian pegunungan tengah ingin melepaskan diri dari pangkuan ibu
pertiwi.
Sebetulnya orang Papua bagian pantai tidak ingin
lepas dari NKRI, mereka tetap ingin bersama dengan Indonesia karena sejarah.
Ketika Belanda menjajah Indonesia, masyarakat Papua juga ikut andil dalam
melawan penjajah ini. Tokoh-tokoh yang melawan penjajah Belanda antara lain
adalah Frans Kaisiepo, Silas Papare, dan Marten Indey. Mereka ini adalah orang
Papua daerah pantai. Saya memang tidak begitu paham dengan sejarah mengenai
Papua, Oleh karena itu, Ibu Nonce memberikan saya sebuah buku tentang sejarah
Papua yang dihubungkan dengan masuknya injil di Papua. Sebab mengapa mayoritas
orang papua beragama Kristenadalah karena misionaris banyak datang ke pedalaman
Papua untuk menyebarkan agama. Di saat penyebaran ini mereka sudah menemukan
gerakan-gerakan pengacau keamanan (GPK)dan sekarang mereka menamakan dirinya
adalah OPM, mereka menganggap NKRI adalah penjajah mereka. Orang-orang di
pegunungan Papua merasa tidak memiliki perasaan senasip sepenanggungan dengan
rakyat Indonesia, mereka hanya berfikir bahwa banyak pendatang menguasai
perekonomian di perkotaan, yang memiliki ruko dan toko besar adalah pendatang,
yang menjadi pegawai adalah pendatang, yang menguasai pemerintahan adalah
pendatang. Inilah pemikiran yang menjadi racun bagi mereka sendiri. Padahal
semua itu kembali kepada kebiasaan dan pola pikir masyarakat pribumi itu
sendiri. Andaikata mereka mau mencontoh sifat-sifat para pendatang pastilah
mereka tidak akan tersingkir atau terusir di tanah mereka sendiri.
Menurut hemat saya, pembelajaran karakter bangsa
merupakan model pengajaran yang cocok untuk diterapkan di tanah Papua yang rasa
nasionalismenya sudah sangat tipis atau bahkan tidak ada. Saya pernah mencoba
menerapkan itu di tempat saya bertugas. Cara yang paling ampuh untuk mengubah
pola pikir yang pertamaadalah dengan cara dipaksa. Memang banyak orang
mengatakan hal tersebut kurang baik. Namun jika itu tujuannya adalah hal yang
sangat baik, mengapa tidak kita lakukan saja?. Cara yang kedua adalah
pembiasaan, kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang akan menyebabkan
seseorang selalu teringat dan sukar untuk lupa. Oleh karena itu, setiap hari
sebelum siswa masuk ke dalam kelas, kita selalu menyuruh mereka berbaris di
lapangan, melaksanakan apel pagi ditambah dengan kegiatan baris berbaris termasuk
menghormati sang Saka Merah Putih. Di dalam Kelas, saya pun menyuruh siswa
mengucapkan Pancasila sebelum di mulai pelajaran. Kemudian di saat sebelum
pulang sekolah, anak-anak saya suruh untuk menyanyikan Lagu Indonesia Raya. Untuk
kehidupan sehari-hari, saya menyuruh murid saya agar menggunakan Bahasa
Indonesia, terutama ketika siswa sedang berada di Sekolah. Itu semua hanya
sebagian kecil dari bentuk pendidikan karakter bangsa yang harus kita terapkan
kepada anak didik kita, di manapun kita menjalankan tugas sebagai seorang duta
pendidikan Indonesia.
Simpulannya, Anak-anak Papua masih merupakan
Putra-putri Bangsa Indonesia. Mereka berhak mendapatkan pendidikan dan
pelayanan yang sama dengan anak-anak lain dari belahan bumi Indonesia.
Anak-anak di Papua tidak mendapatkan hak yang sama dalam memperoleh pendidikan.
Sedangkan Sumber Daya Manusia sangat tergantung kepada kualitas pendidikan yang
membentuk masyarakat. Itulah sebabnya, mengapa Papua masih sangat terbelakang
di tengah kemajuan Indonesia dewasa ini.
Saran kami adalah jangan ajarkan hal yang salah
terhadap anak-anak Papua, karena pemikiran mereka masih begitu polos dan
gampang terpengaruh. Ajarilah mereka untuk tetap mencintai Indonesia, mencintai
pahlawan-pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, dan semangat untuk
tetap bersama dengan Indonesia. Untuk pemerintah, jangan hanya membangun
perekonomian saja untuk Papua, kembangankanlah sektor pendidikan sehingga
kualitas sumber daya manusia di provinsi ini bisa kian meningkat. Sumber daya
alam di Papua sangatlah kaya, namun pihak asing yang selalu menguasai, apabila
sumber daya manusia Papua sudah mumpuni, tentulah masyarakat Papua sendiri
khusunya dan rakyat Indonesia pada umumnya yang akan menikmati hasil bumi
“Tanah Cenderawasih”.
Kurima - Yahukimo - Papua |
Kurima - Yahukimo - Papua |
Kurima - Yahukimo - Papua |
Salam Indonesia Tetap Bersatu,
dari Ujung Timur Indonesia.
Sekolah ini, di bangun oleh bapak saya (C.Dimara) pada tanggal 5 Mei 1970 s/d saat ini 5 mei 2020 genap 50 Tahun, atau setengah abad sudah usia sekolah itu
BalasHapus